Tangannya yang pucat itu menunjuk tepat diatas dahi saudaranya.
" Lihat, Lawie… " Katanya riang, lagi – lagi untuk yang kesekian kali.
Kadang Ia bingung harus bersikap bagaimana. Saat mengetahui saudaramu mengalami semacam delusi atau hal – hal tidak normal
lainnya, apakah yang terbaik yang dapat kau lakukan untuk saudaramu
tersayang itu ? Mendukungnya, atau harus menolaknya walaupun itu dapat
menghancurkan hatinya ? Dan saat dia melakukan "itu" Lawliet selalu
berada dalam dilema itu.
Saudara kembarnya itu membuatnya melakukan kebohongan demi kebohongan
yang seharusnya lidak layak ia lakukan. Namun Lawliet terlalu menyayangi
makhluk malang itu. Dia terlalu takut melihat hati yang begitu murni
itu teraniaya.
"
Ya, tentu aku tahu Ryuzaki. " katanya lembut, namun penuh kepedihan
karena sekali lagi ia mengatakan kebohongan kepada saudaranya itu.
Namun, kali ini
tidak seperti yang disangka Lawliet. Saudaranya itu mendadak menunjukan
wajah yang tak bisa ditebak. Matanya berubah dingin. Lawliet tak ingin
mengakuinya, tapi dia melihat ada sesuatu yang mengerikan dalam mata saudaranya itu.
" Kau bohong kan. " Kata Ryuzaki menohok Lawliet.
" Apa… " Lawliet terkejut.
" Jika kau dapat melihatnya, ayo beritahu aku, berapa nomorku ? " Ryuzaki mendesak Lawliet.
Lawliet
menatap lurus di mata saudaranya itu. Sungguh seperti menatap sang
eksekutor di hari penghakiman. Ia benar – benar tak bisa berkutik
sekarang, jika itu istilahnya. Ia telah mendapatkan apa yang selalu
ditakutkannya : ia akan menghancurkan hati saudaranya !
" Ryuzaki…dengarkan aku… " Pinta Lawliet.
" Kau bohong… "
Kata
– kata itu sungguh bagaikan tikaman tepat dijantungnya. Lawliet
terpaku. Ia selintas seperti menatap kepergian saudara kembarnya itu, ia
serasa melihat punggung Ryuzaki menjauh. Aneh, padahal sekarang Ryuzaki
masih tepat berada di depannya.
" Ryuzaki ! " Terdengar seruan seorang wanita. Entahlah tapi nadanya menyiratkan kebencian dan kemarahan.
Mereka
menoleh. Wanita itu menarik lengan Ryuzaki dengan kejam. Tak dapat
dipercaya bahwa seorang ibu dapat melakukan hal seperti itu.
" Apa yang kau katakan kepada Lawliet lagi ? " Seru wanita itu.
" Aku hanya menanyakan nomorku… "
"
Nomor apa ? kau belum mengerti juga saat aku bilang berbohong itu tak
baik, apalagi caramu berbohong sudah keterlaluan ! Itu bukan lagi
berbohong, itu penyesatan ! " Wanita itu berteriak kejam di wajah kecil
pucat itu.
" Tapi aku tak berbohong… berapa kali aku harus beritahu padamu… aku memang melihatnya… " Protes Ryuzaki.
" Apa yang kaulihat, hah ? Apa yang kaulihat ? Ayo beritahu padaku ! " Wanita itu seperti akan histeris.
"
Aku melihat nomormu, ma… itu, dibawah namamu… tepat dibawahnya… dan
berkali – kali aku katakan bahwa sepertinya nomormu akan berkurang, kau
akan ---… "
Ryuzaki
tak pernah menyelesaikan kata – katanya itu. Sebuah tangan memukul
wajahnya. Wanita itu bahkan tidak terkejut. Ia memang melakukannya
dengan sengaja. Tak ada
ekspresi penyesalan yang terpancar di wajahnya. Yang ada hanyalah
kepuasan. Sepertinya dia puas saat memukul anaknya. Ia berpikir itu
seperti suatu didikan. Suatu tanggung jawab.
" Ibu, kenapa kau memukulnya ? Ryuzaki bahkan tidak menyakitimu… kenapa kau… " Lawliet shock
melihat tingkah ibunya kepada saudaranya itu, padahal ia telah
melihatnya berulang kali. Namun ia menyadari saat saudaranya itu
dipukul, ia selalu tak dapat melakukan apapun.
"
Aku sudah tidak tahan lagi denganmu… Aku benar – benar menyesal
memilikimu ! " Wanita itu kehilangan kontrol. Ia menjerit – jerit pada
Ryuzaki seakan anak itu adalah sesuatu yang menjijikan.
Kemudian wanita itu menjauh, Ia meninggalkan kedua anaknya. Berlari kedalam rumah.
Ryuzaki terdiam. Wajahnya tertunduk.
" Tangis… " Suara itu kecil, namun dapat didengar oleh Lawliet. Suara saudara sedarahnya yang sangat dikenalnya.
" Ia menangis… kenapa ia menangis… pasti karena sebentar lagi ia akan… "
Lawliet memeluknya.
" Lawie… " Itulah kata – katanya…
"
Lawie… Ia akan segera meninggal… percayalah padaku… pada saatnya nanti,
ia pasti akan mencariku untuk meminta maaf… ia akan menyesal, kan
Lawie… "
Itulah kata – kata Ryuzaki yang diingat Lawliet… sampai akhir hayatnya.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
3 Tahun yang lalu.
" Ah…indahnya… " Bocah 7 tahun itu berseri gembira menatap wajahnya sendiri.
"
Apanya yang indah Ryu ? " Lawliet yang tertarik kemudian bergerak
menghampiri saudaranya itu. Mereka di depan cermin dan saat mereka
melihat wajah mereka sendiri sungguh tak ada yang dapat membedakannya
satu sama lain. Hanya kemudian jika kita melihatnya dengan seksama, kita
mungkin bisa mengetahui perbedaannya. Makin hari mata Ryuzaki berubah
ke warna yang lebih cerah. Entahlah padahal sebelumnya matanya normal
seperti Lawliet, saudaranya itu. Sekarang bisa dikatakan bahwa warna
mata Ryuzaki mendekati warna merah cerah. Warna yang sungguh langka
untuk organ tubuh yang satu itu.
" Maksudmu matamu, Ryu ? " Tanya Lawliet memperhatikan warna mata saudaranya di cermin.
"
Ya, mataku memang dari hari ke hari seperti beralih warna… aku tahu
itu, Namun yang membuatku heran adalah itu… " Tiba – tiba ia menunjuk
pantulan dahinya sendiri di cermin.
" eeh ? " Lawliet tidak mengerti apa yang dimaksud Ryuzaki.
" Itu loh… Itu nomor – nomor merah tepat dibawah namaku… Itu apa ya? "
" Nomor apa ? " Lawliet tetap tak mengerti.
" EH ! Ternyata kau juga ada Ryu… "
Kali ini pernyataan itu mampu membuat Lawliet menatap wajah Ryuzaki.
" Ada apa ? Apa yang kau bicarakan Ryu ? "
"
Itu… lihat. Ada sederetan nomor di dahi kita… tepat dibawah nama kita.
Wah indah sekali ya… kenapa aku baru melihatnya sekarang… " Kata Ryuzaki
mantap.
" Nomor apa, Ryu ? Nama apa ? "
" Itu ! " Ryuzaki menunjuk ke pantulan bayangan mereka, tepat dimana dia melihat 'nomor – nomor' itu.
"
Namaku… Ryuzaki Rue… nomorku---" Namun sebelum ia melanjutkan kata –
katanya, seorang wanita muda yang cantik mendekati mereka. Rambutnya
yang segelap malam membingkai wajahnya.
" Apa yang kalian lakukan, sayang ? "
" Ah, ibu… bu, ibu juga punya… Ah ! tapi kenapa… punyamu … "
Wanita itu menatap putranya yang kecil, bingung.
" Apa, sayang ? Apa yang kau maksud ? "
" Ibu… nomormu jauh lebih pendek dari kami berdua, bu… apa ya maksudnya… " Jawab Ryuzaki polos.
Dan saat itulah Lawliet menyadari bahwa inilah awal dimana saudaranya itu akan dibenci oleh ibu mereka.
" Nomor apa ? " Kata wanita itu. Intonasi suaranya agak naik.
" Nomor – nomor kita diatas dahi… tepat dibawah nama kita… "
" Apa yang kaubicarakan, sayang ? tidak ada nomor apapun atau nama apapun di dahi kita, kan "
" Ada, bu itu, aku dapat melihatnya dengan jelas, walaupun agak bergerak – gerak, itu… warnanya merah--- "
Dan disaat itulah wanita itu bagai kehilangan kontrol. Ia mulai berubah mengerikan.
" Apa yang kau bicarakan, Ryuzaki ?! Jangan main – main dengan ibu ! " Teriak wanita itu.
" Tapi bu, aku tidak--- "
" Sudah, hentikan, kau bocah kecil brengsek ! Ibu tidak mau mendengar gurauanmua itu lagi, mengerti ! "
" Bu, kenapa kau berkata seperti itu ? Aku tidak bohong--- "
" DIAM KAU ! " Bentaknya
Ryuzaki
spontan kaget dan terpaku diam. Ia menatap wanita yang disangkanya dulu
ibunya itu dengan tatapan tidak percaya. Apa yang terjadi pada ibu ?
Atau apakah hanya aku yang bisa melihat nomor – nomor itu.
" Lawie… " Ryuzaki berbisik.
Lawliet menatapnya.
" Kau bisa melihatnya juga kan ? "
Wanita itu menatap Lawliet tajam. Seolah menantikan hal mengerikan datang mengepungnya.
" Ya, aku bisa melihatnya… " Kata Lawliet.
Namun
wanita itu tahu bahwa Lawliet berbohong. Ia dan Lawliet tidak melihat
apapun yang dikatakan Ryuzaki. Itu hanya untuk menenangkan hati bocah
kecil itu. Tak lain. Itu hanya kebohongan yang akan membesar dan semakin
membesar di kemudian hari.
Saat
itu Lawliet bertanya – tanya, apa yang terjadi pada saudaranya itu ?
mengapa ia mengatakan ada nomor dan nama di atas dahi mereka, apa yang
sebenarnya terjadi ? Namun diatas semuanya itu entah mengapa Lawliet
tidak melihat bahwa saudaranya itu berbohong. Bagaimanapun ia percaya
Ryuzaki dapat melihat 'nomor' apapun itu, sedangkan yang lainnya tidak
dapat. Mungkinkah itu suatu anugrah ? ataukah suatu kutukan ? Lawliet
membatin.
Sejak
saat itu, Ryuzaki berubah. Ia mulai tertutup dan pendiam. Saat Lawliet
menanyakan ada apa, ia hanya menggeleng. Sungguh Lawliet dapat melihat
kepedihan dalam matanya. Dan makin ia memperhatikan pupil Ryuzaki makin
memerah dari hari ke hari.
Ryuzaki
tidak lagi membicarakan tentang 'nomor' aneh ataupun 'nama' yang
katanya ada di atas dahi mereka. Walau Lawliet yakin bahwa saudaranya
itu dapat melihat seluruh nomor di setiap orang yang dijumpainya. Ia tak
pernah lagi meributkannya, sebab setiap ia mengatakannya, walau untuk
sekali lagi meyakinkan ibunya, yang didapatnya hanyalah pukulan di
wajahnya. Ibunya berubah kejam terhadapnya. Seakan Ia adalah iblis yang
menggangu penglihatan ibunya. Ia sungguh berpikir seperti itu.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
4 tahun kemudian.
Suatu
hari Ryuzaki mengatakan sesuatu yang menjadi kunci pengetahuan misteri
bagi Lawliet, saat mereka dalam perjalanan pulang. Misteri yang selama
ini dikatakan Ryuzaki. Ya, nomor itu.
" Lihatlah Lawie… orang itu sebentar lagi akan mati "
Ryuzaki
membatu. Ia menatap ngeri ke arah Ryuzaki. Di sebrang mereka, di tempat
pemberthentian bus, seorang pria usia 30-an berdiri sambil membaca
sebuah buku.
" Apa yang kau katakan Ryu ? Kau tidak boleh mengatakan hal semacam itu--- "
" Kau akan melihatnya " Ryuzaki memotongnya.
Tiba
– tiba pria itu tersungkur ke depan. Ia menjerit kecil tertahan
kemudian tak bergerak. Terkejut, Lawliet segera menghampiri pria malang
tersebut. Ia tahu dari jarak dekat bahwa pria itu telah meninggal.
Lawliet meoleh ke belakang, ke arah Ryuzaki berada, yang kini telah
berada tepat dibelakangnya. Ia sungguh merasakan kehadiran malaikat maut
di diri Ryuzaki.
" Lihat kan, Lawie… aku tak bohong. "
" Ryu… bagaimana kau… "
"
Lawie, dengarkan aku. Aku tau sejak lama bahwa kau berbohong padaku.
Kau tak bisa melihat nomor itu kan ? Tapi tak apa, aku tahu kau terlalu
baik bagiku… jadi dengarkan aku. Setiap orang yang nomornya kulihat, ada
sebagian yang deretan angkanya berkurang, bahkan hanya menyisakan 1
digit. Dan setiap hari aku memperhatikan bahwa mereka yang digitnya
semakin berkurang, mereka akan segera meninggal. Sepertinya itu adalah
semacam sisa waktu hidup mereka "
Lawliet
terpana dengan pengakuan saudaranya itu. Ia mau tak mau mempercayai
bukti di depan matanya sendiri. Ia bergidik ngeri. Anugrah apakah yang
diberikan Tuhan kepada Ryuzaki ? Ia membatin panik.
" Maka saat kukatakan itu pada ibu… "
" Maksudmu, ibu punya deretan angka yang pendek ? " Tanya Lawliet spontan.
" Ya. Ia sebentar lagi akan meninggal, namun ia tidak mempercayainya. Aku hanya ingin memberitahukan padanya. Itu saja. "
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Wanita
muda itu terduduk lesu. Ia adalah seorang campuran asing. Rambutnya
seputih salju. Kulitnya sepucat pagi. Namun wajahnya adalah paduan
antara kecantikan sang dewi dan seorang ratu. Di sampingnya terdapat tas
belanja kecil.
Ryuzaki
menatap wanita itu. Wanita itu menyadari kehadiran anak usia 11 tahun
itu. Pandangan mereka bertemu. Dan sejenak mereka hanya berdiam diri.
" Kemari " Akhirnya wanita itu berkata. Suaranya lembut dan murni.
" Kakak… " Kata Ryuzaki pedih.
Wanita itu tersenyum.
" Ada apa ? "
"
Kau… sebentar lagi… kau akan berangkat ke tempat yang sangat jauh…
namun kau tidak perlu takut… sebab tempat itu sangatlah indah… tak ada
yang menyamai tempat seperti itu di bumi… " Ryuzaki berkata pelan.
Wajah wanita itu menunjukan mimik antara terkejut dan sesuatu yang tak dapat diungkapkan.
Ia tersenyum lagi dan kemudian memeluk Ryuzaki.
" Terima kasih malaikat kecilku… akhirnya kau menjemputku. "
Ryuzaki terpaku sejenak. Ia tak pernah mendengar respon seindah itu dari pernyataan yang dianggap gila oleh ibunya sendiri itu.
" Siapa namamu ? " Tanya wanita itu masih memeluk Ryuzaki.
" Rue…Rue Ryuzaki… "
"
Rue--- " Wanita itu terbatuk. Ia terus terbatuk. Ryuzaki merasa melihat
sesuatu yang cerah keluar dari mulut wanita itu. Tiba – tiba wanita itu
terjatuh dari kursi dengan posisi Ryuzaki masih dipelukannya.
Ryuzaki
yang tertindih berusaha melepaskan diri. Ia terkejut melihat wanita
cantik namun kini sepucat kematian itu tersenyum menatap lurus ke
arahnya. Sekitar mulutnya penuh dengan bercak merah kehitaman. Dan
tampaknya bercak itu juga mengotori punggung pakaian Ryuzaki.
" Namaku… Claire… Claire Dovey… " Kata wanita itu lemah. Dan kemudin ia tidak bergerak lagi.
Ryuzaki masih terpaku dengan keadaan yang baru saja disaksikannya. Ia menatap darah yang berkilau di tubuh wanita itu.
Dan sebentuk benda jatuh dari tas belanja wanita itu. Ryuzaki mengambilnya.
"
Selai… " Ryuzaki menyentuh bercak darah yang mengalir di mulut wanita
yang sekarang tak bernyawa itu. Ia menyesapnya. Ia tersenyum.
Rue Ryuzaki telah menghilang.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
" A--- apa ?! "
Ryuzaki hanya menatap ibunya dengan tatapan kosong.
" Apa yang kau lakukan ? Kenapa kau berdarah –darah seperti itu ? "
" Ini bukan darahku bu. Tenang saja, aku tak apa – apa. Ibulah yang seharusnya kuatir. Karena sebentar lagi akan pergi. "
" APA ? LAGI – LAGI--- "
Ia
terpaku. Tiba – tiba jantungnya terasa sakit sekali. Ia menatap anaknya
yang berlumuran darah dengan ekspresi mengerikan. Tanpa dapat berkata
apapun lagi, iapun tersungkur. Terakhir kali matanya megabadikan sosok
seorang anak usia 11 tahun berbingkai siluet senja. Tersenyum ganjil,
anak itu berbisik " Selamat tinggal, ma. "
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Satu tahun kemudian : Wammy's House.
" Aaaarghhhh !!! " Jerit Lawliet.
Ia menatap benda tajam yang menembus bahunya. Darah segar memercik deras, menyeruak kaos putihnya.
" Jangan bodoh, Ryuzaki ! " Seru Lawliet menahan sakit.
Ryuzaki tersenyum dingin.
" Apa yang kupunya disini, Lawie… " Jawab saudaranya.
" Kau masih punya aku, bodoh ! " Jawab Lawliet marah.
" Aku tidak memiliki siapapun, Lawie, dan aku juga bukan milik siapapun, termasuk dirimu. "
Lawliet menatap mata saudaranya. Kini mata itu berwarna semerah darah. Entah sejak kapan warnanya telah menjadi sesempurna itu.
" Jika aku melihatmu di kemudian hari… "
Lawliet berteriak saat Ryuzaki mencabut pisau itu dari bahunya.
" Aku akan membunuhmu… "
Kini mata mereka saling bertatapan.
"
Kau selalu milik wanita itu. Sedangkan aku… aku tidak pernah
mendapatkan simpatinya… Jika kau muncul sebagai orang yang memberikan
cahaya, aku yang akan memadamkannya, jika kau menjadi seorang yang baik,
maka aku akan menjadi seorang yang jahat. Karena hanya itulah yang
dapat kulakukan jika aku tak ingin menjadi bayanganmu, saudaraku
terkasih, L Lawliet. "
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
14 Tahun kemudian.
" L… "
L membuka mata dan menyadari ia tertidur seperti biasanya. Duduk di kursi kesukaannya dengan pose kedua kaki dinaikan.
Entah
kenapa ia teringat seseorang yang sangat dikasihinya juga suka menghina
cara duduknya seperti itu. Seseorang yang bahkan keeksistensiannya
diragukan oleh pikirannya sendiri. Apakah dia ada, atau sesungguhnya dia
hanya imajinasiku ?
" L, ICPO menggelar konfrensi besok. Kasus yang dinamakan KIRA… "
" Ya, aku tahu Watari… aku bermaksud mengambil kasus itu. "
L membaca berkas di depannya. Ia mulai menempatkan jempol di sudut bibirnya. Tanda jika otaknya akan segera berpikir keras.
" KIRA… dia pasti semacam dewa atau… sejenis dewa kematian… " Ia menggumam
Tiba – tiba pikirannya melayang. Jika ia dapat… AH ! Apa yang dipikirkannya. Bahkan dia itu hanyalah khayalan. Batin L.
" Namun… "
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
2 Hari kemudian.
" KIRA telah menghakimi melebihi limitnya… Ia pasti sangat kesal dengan tantanganku " L menggumam.
Sampai
saat ini KIRA telah membunuh setiap waktu. Tidak hanya saat senja
sampai tengah malam. Dia juga membuat beberapa kriminal berbuat keanehan
sebelum meninggal, itu berarti dia dapat mengontrol tindakan korban
sebelum membunuhnya.
L menaruh berkas yang dipegangnya. Dia mulai membaca berkas satunya lagi di samping berkas KIRA.
Yang
satu ini bukanlah kasus KIRA, namun perhatian untuk kasus tersebut
setara dengan perhatiannya kepada kasus KIRA. Itu adalah kasus yang
terjadi di luar negri. Tepatnya Los Angeles.
L
membaca sekilas berkas yang telah dibacanya berulang kali itu.
Sebenarnya kasus itu telah selesai dan pelakunya telah dipenjarakan.
BB, yang dikenal juga sebagai Beyond Birthday berhasil ditahan seminggu yang lalu.
Aneh
mengetahui bahwa kasus yang telah selesai itu menyita perhatiannya
begitu besar. Bahkan kasus itu bukanlah di dalam negeri. Tak ada
hubungannya dengan kasus yang akan diterimanya ini.
Namun yang ada di dalam pikiran L sekarang : kasus itu erat kaitannya dengan KIRA.
Setidaknya
dia akan membuatnya seperti itu. Namun selagi memikirkan inipun hatinya
berontak kuat. Kau adalah seorang bajingan Lawliet. Kata hatinya.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
4 Bulan kemudian.
Yagami Light memperhatikan sebuah sampul buku. Buku itu berwarna hitam kelam. Sebuah title bertuliskan di covernya. Death Note.
Ia tersenyum. Betapa efisiennya benda kecil ini, pikirnya.
" Berapa banyak lagi yang dapat kulakukan untuk dunia ini ? " gumamnya.
Kemudian ia menyalakan komputernya. Ia terkejut membaca beberapa head line berita yang sama di setiap site yang dia buka.
Beyond Birthday : Pembunuh serial kejam tertangkap.
Beyond Birthday : Beyond the limit ! Pembunuh kejam akhirnya diamankan.
BB : Pembunuh sakit jiwa peneror LA kini telah ditemukan.
Bagi Light, head line itu seperti sebuah permintaan langsung untuknya. Saatnya tuhan bekerja, pikirnya.
Tak sulit bagi Light untuk mendapatkan nama asli si pembunuh kejam itu.
Seuanya mengalir begitu mulus sampai saat ini, pikirnya. Dan iapun menulis nama itu.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Kediaman L.
" Kau yang melakukannya kan L… " Watari bertanya sambil meletakan kue dihadapan L.
" Kau tidak pernah salah, Watari… karena itulah aku mengagumimu… " Jawab L.
" Kau benar – benar yakin ? Bukankah dia… "
" Watari, dia memang adikku. Adik kembarku yang sangat kusayangi. Dan aku selalu menyayangi dan melindunginya… selalu… "
L berhenti. Ia menatap kue di hadapannya.
"
Namun dia telah meninggal 14 tahun yang lalu… saat dia keluar dari
tempatmu, ia sudah tidak ada lagi… tidak… bukan, sesungguhnya bukan hari
itu… tapi jauh saat ibu kami meninggal, ia juga telah ikut bersamanya.
Dan si pemilik nama Beyond Birthday itu hanyalah pemuda psikopat bodoh
yang meminjam tubuh adikku. Aku sebagai kakaknya, tidak akan pernah
membiarkan ia menganiaya jiwa Ryuzaki lagi… selamanya… "
Watari menatap punggung L.
Setitik air mengalir dari kelopak mata L.
"
Pintar… jika kau menaruh head linenya di semua situs, KIRA yang memang
berorientasi menghakimi seluruh kriminal pasti akan segera membunuhnya,
apalagi nama aslinya telah diketahui. Segalanya hanya sesuai dengan
perkiraan L. " Watari bergumam menjauh.
"
Hanya saja, sadar atau tidak, L baru saja meminjam kekuatan
KIRA---kekuatan yang ditentangnya sendiri---Apakah sudah tidak ada jalan
lain ? Ah… jika L berpikir seperti itu, maka tak ada seorangpun yang
dapat meragukannya. Berarti memang tak ada lagi jalan lain. Ia pasti
sangat menyayangi adiknya. "
"
Ryuzaki… aku hanya mengikuti permainanmu… Kau bilang 'jika aku menjadi
terang, maka kau akan menjadi gelap. Kau hanya akan bangkit untuk
melawanku, sebab dari situlah kau tidak akan pernah menjadi bayanganku.
Kau benar sekali. Kau menjadi pembunuh, maka akulah yang akan menjadi
penangkapmu. Aku telah mengembalikan jiwamu kedapa surga… Aku tidak akan
pernah menyesal melakukannya… "
Di salah satu sel di L A.
Seorang
pemuda memegangi dadanya dengan kuat. Ia menahan sakit yang tiba – tiba
datang. TIDAK MUNGKIN, pikirnya. Aku sedang mengalami serangan jantung !
" LAWIE !! " Ia menjerit.
" KAU TAK AKAN PERNAH MENANG DARIKU ! KAU TAK AKAN PERNAH BISA LARI DARIKU ! TIDAK SELAMANYA ! "
Ia
tersungkur. Dalam posisi tergeletak miring, ia susah payah bernapas.
Air mata membanjiri wajahnya. Tanpa diinginkannya tiba – tiba memori
masa lalunya menyeruak keluar bagai pertunjukan film di depan matanya.
" LAWLIET !! AKU MEMBENCIMU ! AKU SELALU MEMBENCI--- "
SAKIT, SAKIT SEKALI…
Apakah ini yang dialami wanita itu ?
Ibu… Sakit sekali ibu…
" Lawie… "
Iapun berlalu.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
3 Bulan kemudian.
" Semoga sukses, Lawliet. "
Lawliet berhenti berjalan, ia menoleh.
" Maksudmu ujian ? "
"
Jangan mengejeku, aku tahu pasti kau akan keluar sebagai siswa nomor
satu Todai. Kau tahu maksudku, Lawliet. Kasusmu. Maksudku KIRA-mu "
Lawliet menerawang sejenak.
" Ya… ya… kau benar… KIRA-ku… " Kemudian ia menyambung,
" Watari, bisa panggil aku Ryuzaki mulai sekarang ? "
Watari menatapnya sejenak, berbalik, dan berjalan perlahan meninggalkannya.
" Jika itu kemauanmu. " Jawab Watari
" Itu kemauanku Watari. Dan kau tahu apalagi kemauanku ? Jika aku bertemu KIRA, aku rasa aku harus berterima kasih padanya… "
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
1 Tahun kemudian.
Lawliet berpikir sepersekian detik saat merasa tubuhnya terjatuh dari kursi.
Inikah yang dirasakan Ryuzaki ? Dan ibu ?
Ia merasa ada tangan yang menopang bawah tubuhnya sebelum ia benar – benar terjatuh ke lantai.
Ia mendengar bunyi dentangan sendok.
Ia mendengar seruan kejut, namun rasanya jauh sekali.
Sebab
yang kini dia rasakan hanya rasa sakit yang menyiksa di bagian dadanya.
Juga matanya hanya bisa berkonsentrasi pada seseorang yang saat ini
menopangnya.
Mungkin
kerja otaknya menurun bersamaan dengan rasa sakit yang menggerogoti
dadanya. Membunuh semua kemampuan intelektualitasnya. Perlahan – lahan
pergi bersama dengan kesadarannya.
Namun hanya satu yang masih dipertahankan oleh Lawliet. Orang yang ada saat ini menopangnya.
Ia tak ingat siapa ini… yang wajahnya perlahan berubah… senyumnya perlahan – lahan nampak… kejam dan dingin.
Oh iya, aku tahu siapa ini. KIRA.
KIRA… ada satu hal yang ingin ku ucapkan padamu…
Jadi aku benar… tapi aku…
Lalwliet tersenyum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar